Sabtu, 25 Januari 2014

tugas sosiologi "fenomena Kemiskinan pada Masyarakat Indonesia"

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Kemiskinan bukanlah fenomena yang baru di dalam kehidupan sosial. Ia merupakan fenomena sosial yang selalu menjadi atribut negara-negara dunia ketiga. Fenomena ini juga merupakan kebalikan dari kondisi yang dialami oleh negara-negara maju yang memiliki atribut sebagai negara modern. Jika diamati, seolah-olah kemiskinan identik dan selalu melekat di dalam struktur negara-negara dunia ketiga dan menjadi problem yang cukup serius untuk mendapatkan penanganan dari para penyelenggara negara. Dan walau telah banyak upaya yang dilakukan oleh para penyelenggara negara untuk mengentaskan masyarakat dari belenggu kemiskinan akan tetapi, persoalan tentang kemiskinan bagaikan mengurai benang kusut yang sulit dicari penyelesaiannya.
            Dari paparan di atas terlihat jelas bahwa masalah kemiskinan yang membelenggu sebagian besar masyarakat dari period eke periode tetap menjadi “pekerjaan rumah” bagi pembuat keputusan setiap penyelenggara negara terutama negara-negara kawasan Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Dan walau telah banyak kajian tentang gejala kemiskinan dari berbagai sudut pandang akan tetapi, pembahasan ini seolah-olah menegaskan bahwa kemiskinan bagian dari kodrat Tuhan yang tidak dapat diselesaikan.
            Demikian juga, bangsa Indonesia kemiskinan sudah sejak lama menjadi problematika dalam pembangunan, dan sampai saat ini masih belum menunjukkan tanda-tanda menghilang. Angka statistic terus saja memberikan informasi masih banyaknya jumlah penduduk miskin, yaitu sekitar 18% atau lebih kurang 30 juta jiwa berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah ini tentu saja bersifat dinamis, dalam arti masih sangat mungkin akan ada isu-isu dari pembuat kebijakan public di mana kemiskinan telah berhasil ditangani, namun di pihak lain juga tidak menolak kemungkinan terjadi peningkatan dimana hal ini sangat tergantung pada kondisi perekonomian nasional yang masih belum stabil.
            Kemiskinan seolah sudah menjadi tren bagi kehidupan bangsa. Masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan dapat dengan mudah diidentifikasikan dari waktu ke waktu. Keberhasilan program pengentasan kemiskinan yang disuarakan pemerintah dengan angka statistik masih masih memicu pro dan kontra. Sebagian pakar yang kontra menganggap laporan keberhasilan ini tidak lebih baik dari upaya pengalihan dan pembentukan opini masyarakat akan citra pemerintah.
            Memacu pertumbuhan ekonomi, tetapi tanpa dibarengin dengan upaya menciptakan struktur sosial yang egaliter, hanya akan menampilkan kesenjangan sosial yang kian melebar. Kesenjangan sosial inilah yang nantinya akan membentuk staratifikasi sosial yaitu struktur sosial yang berlapis-lapis di dalam masyarakat. Secara popular sering terdengar ungkapan dalam pergaulan sosial: “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat ditentukan beberapa rumusan masalah, antara lain:
1.      Apakah pengertian kemiskinan serta bagaimana ciri-ciri masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan?
2.      Apa sajakah sebab-sebab terjadinya kemiskinan dalam masyarakat?
3.      Bagaimana cara untuk menanggulangi kemiskinan dalam masyarakat?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, maka dapat diambil beberapa penjelasan tentang tujuan penulisan makalah ini, antara lain:
1.      Mengetahui pengertian kemiskinan
2.      Mengetahui bagaimana ciri-ciri masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan
3.      Mengetahui sebab-sebab terjadinya kemiskinan dalam masyarakat
4.      Mengetahui cara untuk menanggulangi kemiskinan dalam masyarakat







BAB II
PEMBAHASAN RUMUSAN MASALAH I
2.1 Pengertian Kemiskinan
            Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.[1] Kemiskinan lazimnya digambarkan sebagai gejala kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Sekelompok anggota masyarakat dikatakan berada di bawah garis kemiskian jika pendapatan kelompok anggota masyarakat ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian, dan tempat tinggal. Garis kemiskinan, yang menentukan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, dapat dipengaruhi oleh tiga hal: (1) persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan, (2) posisi manusia di dalam lingkungan sekitar, dan (3) kebutuhan objektif manusia untuk dapat hidup secara manusiawi.
            Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, adat-istiadat, dan sistem nilai yang dimiliki. Dalam hal inilah maka garis kemiskinan dapat tinggi atau rendah. Berkaitan dengan posisi manusia dalam lingkungan sosial, bukan kebutuhan pokok yang menentukan, melainkan bagaimana posisi pendapatannya di tengah-tengah masyrakat sekitarnya. Kebutuhan objektif manusia untuk dapat hidup secara manusiawi ditentukan oleh komposisi pangan apakah bernilai gizi cukup dengan protein dan kalori, sesuai dengan tingkat umur, jenis kelamin, sifat pekerjaan, keadaan iklim, dan lingkungan alam yang dialaminya.
            Pada masyarakat yang bersahaja susunan dan organisasinya, mungkin kemiskinan bukan merupakan masalah sosial karena mereka menganggap bahwa semuanya telah ditakdirkan sehingga tidak ada usaha-usaha untuk mengatasinya. Mereka tidak akan terlalu memerhatikan keadaan tersebut, kecuali apabila mereka betul-betul menderita karenanya. Faktor-faktor yang menyebabkan mereka membenci kemiskinan adalah kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk memperoleh lebih daripada apa yang telah dimilikinya dan perasaan akan adanya ketidakadilan.
            Pada masyarakat modern yang urmit, kemiskinan menjadi suatu masalah sosial karena sikap yang membenci kemiskinan tadi. Seseorang bukan merasa miskin karena kurang makan, pakaian atau perumahan, tetapi, karena harta miliknya dianggap tidak cukup untuk memenuhi taraf kehidupan yang ada. Hal ini terlihat di kota-kota besar Indonesia, seperti Jakarta; seseorang dianggap miskin karena tidak memiliki radio, televise, atau mobil sehingga lama-kelamaan benda-benda sekunder tersebut dijadikan ukuran bagi keadaan sosial-ekonomi seseorang, yaitu apakah dia miskin atau kaya. Dengan demikian, persoalannya mungkin menjadi lain, yaitu tidak adanya pembagian kekayaan yang merata.
            Persoalan menjadi lain bagi mereka yang turut dalam arus urbanisasi, tetapi gagal mencari pekerjaan. Bagi mereka pokok persoalan kemiskinan disebabkan tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer sehingga timbul tuna karya, tuna susila, dan lain sebagainya. Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya masalah tersebut adalah karena salah- satu lembaga kemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik, yaitu lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi. Kepincangan tersebut akan menjalar ke bidang-bidang lainnya, misalnya, pada kehidupan keluarga yang tertimpa kemiskinan tersebut.
2.2 Ciri-ciri Masyarakat yang Berada di Bawah Garis Kemiskinan
Masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, dan keterampilan.
b.      Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri seperti untuk meperoleh tanah garapan atau modal usaha.
c.       Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan.
d.      Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas (self employed), berusaha apa saja.
e.       Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunyai keterampilan.[2]
Kemiskinan memiliki kaitan yang erat dengan stratifikasi sosial. Stratifikasi atau strata sosial adalah struktur sosial yang berlapis-lapis di dalam masyarakat. Lapisan sosial menunjukkan bahwa masyarakat memiliki strata, mulai dari yang terendah sampai yang paling tinggi. Secara umum, strata sosial di masyarakat melahirkan kelas-kelas sosial yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu atas (Upper Class), menengah (Middle Class), dan bawah (Lower Class). Kelas atas mewakili kelompok elite di masyarakat yang jumlahnya sangat terbatas. Kelas menengah mewakili kelompok profesional, kelompok pekerja, wiraswastawan, pedagang, dan kelompok fungsional lainnya. Sedangkan kelas bawah mewakili kelompok pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan semacamnya. Masyarakat kelas bawah inilah yang umumnya mengalami masalah kemiskinan dari tidak mampu membeli makanan pokok hingga tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya.



BAB III
PEMBAHASAN RUMUSAN MASALAH II
3.1  Sebab Sebab Terjadinya Kemiskinan Dalam Masyarakat
Hingga saat ini, perdebatan tentang apa yang menjadi penyebab kemiskinan bagi seseorang atu sekelompok orang belum mencapai kata sepakat. Hanya dari beberapa pendapat jika disimpulkan ada tiga faktor yang menyebabkan kemiskinan. Tiga factor ini yaitu:
1.      Kemiskinan yang disebabkan Handicap Badaniyah  ataupun mental seseorang.
2.      Kemiskinan yang disebabkan bencana alam.
3.      Kemiskinan buatan.[3]
Faktor yang pertama merupakan penyebab secara klasik dimana kemiskinan selalu dikaitkan dengan struktur budaya masyarakat setempat, dimana budaya dijadikan sebagai alasan penyebab sekelompok manusia ditempat miskin. Misalnya, mitos budaya Jawa malas dengan image masyarakat Jawa mangan ora mangan seng penting ngumpul (makan tidak makan yang penting kumpul), alon-alon watone kelakon (pelan-pelan asal sampai), tuna satak batine sanak (rugi materil tidak apa apa yang penting dapet persaudaraan), narimo ing pandu (menerima takdir), dan sebagainya kerap dikaitkan dengan faktor penyebab mengapa masyarakat Jawa kebanyakan miskin. Nilai-nilai falsafah ini sering dijadikan dasar penyebab kemiskinan, sebab nilai-nilai yang terkandung didalam falsafah ini tidak sepaham jiwa entrepreneur yang selalu berobsesi pada nilai keuntungan yang sebesar-besarnya dan menekan biaya produksi.
Selain budaya yang dituding sebagai biang kemiskinan, faKtor klasik lainyang dianggap penting dalam memberikan andil bagi terciptanya kemiskinan diantaranya sifat malas, penyakit, dan cacat fisik. Memang tidak menolak kemungkinan bahwa faktor fisik yang berupa cacat badaniyah, penyakit, kemalasan menyebabkan seseorang tidak produktif. Alasan ini masih dapat diterima secara rasional akan tetapi, jika persoalannya menyangkut keadaan dimana seseorang bekerja keras di berbagai sektor usaha, misalnya, berdagang mengalami kebangkrutan karena labilnya sistem perekonomian dalam suatu Negara, petani gagal panen akibat terserang hama penyakit tanaman, seseorang tetap miskin karena bekerja di instasi tertentu akibat dari rendahnya gaji, apakah faktor badaniyah masih relevan dijadikan sebagai faktor penyebab kemiskinan. Kenyataan ini telah menjadi bagian dari realitas sosial yang dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari.
Jika kemiskinan timbul karena bencana alam dapat diterima sebagai sebuah kenyataan karena bencana alam memang berakibat rusaknya aset berharga milik masyarakat seperti tempat tinggal, harta benda, dan gagalnya panen. Maka tidak demikian dengan faktor badaniyah. Dalam kasus perbedaan jumlah pendapatan dengan beratnya pekerjaan atau beban pekerjaan. Dalam kasus ini, faktor badaniyah tidak dapat dijadikan alasan sebagai biang kemiskinan.
Kenyataan ini (kesenjangan antara beban kerja dan pendapatan) yang dijadikan alasan bagi penganut paham Neomarxisme di mana kemiskinan yang terjadi di masyarakat erat kaitannya dengan faktor struktur masyarakat ini sendiri, di mana mayoritas masyarakat mengalami ketidakberdayaan ketika berhadapan dengan kenyataan hidup yang ada. Seorang guru honorer, misalnya yang setiap hari berangkat mengajar di sekolah, kemudian besaran gaji yang diterimanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, maka kemiskinan yang demikian ini lebih tepat dikatakan sebagai kemiskinan buatan atau struktural.
Kemiskinan buatan atau structural, disebabkan beberapa hal yang bersifat structural, diantaranya:
a.       Struktur ekonomi timpang, artinya struktur ekonomi yang ada di dalam masyarakat secara tidak adil tidak memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk mendapatkan aset ekonomi. Artinya di dalam struktur ekonomi ada sekelompok kecil orang memiliki kesempatan mendapatkan aset ekonomi secara berlebihan, sementara di pihak lain banyak anggota masyarakat yang hanya memiliki kesempatan yang sangat kecil untuk mendapatkan aset ekonomi.
b.      Struktur politik yang menyangkut rendahnya political wil pemerintah atau rendahnya kualitas kebijakan pemerintah dalam menata struktur ekonomi Negara. Berbagai laporan ekonomi yang dikemukakan oleh pemerintah di mana pendapatan nasional dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan hanyalah merupakan data-data kuantitatif. Akan tetapi, kenyataan yang ada, rakyat selalu dibayang-bayangi berbagai kebijakan ekonomi yang tidak memihak kepadanya.
c.       Faktor budaya di mana konsep pemikiran narima ing pandum (menerima takdir apa adanya dengan sabar) sebenarnya bukan falsafah yang menjadikan budaya kemiskinan. Konsep pemikiran ini adalah bentuk reaksi masyarakat kenyataan dalam kondisi pesimisme, di mana dalam berbagai situasi mulai dari masa penjajahan hingga abad millennium ini tidak kunjung berubah nasibnya. Stagnasi nasib inilah akhirnya menimbulkan pesimisme yang besar hingga menganggap kemiskinan adalah takdir yang seolah-olah sudah tidak mungkin diubahnya. Dengan demikian, konsep narima ing pandum tidak lebih hanyalah penenangan jiwa di dalam ketidakberdyaaan menghadapi kuatnya struktur yang dianggap sudah tidak akan mampu dihadapi sekalipun dengan takdir.



BAB IV
PEMBAHASAN RUMUSAN MASALAH III

4.1  Cara Untuk Menanggulangi Kemiskinan Dalam Masyarakat
Penanggulangan kemiskinan di Indonesia oleh pemerintah telah dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya:
a.       Pemberdayaan masyarakat miskin
Pemberdayaan masyarakat miskin merupakan pemberian hak pada masyarakat untuk dapat meningkatkan daya atau kemampuan sendiri. Jika kemampuan unit sosial secara keseluruhan meningkat, maka semua anggota masyarakat akan dapat menikmati bersama-sama. Dalam kasus ini, pemberian daya kepada lapisan miskin secara tidak langsung juga akan meningkatkan daya si pemberi, yaitu si penguasa (yang dalam hal ini tentunya adalah pemerintah). Upaya pemberdayaan dapat juga melalui tiga jurusan, yaitu:
1.      Menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adlaah upaya untuk membangun daya ini dengan mendorong, memberikan potensi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya.
2.      Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah yang lebih positif  dan nyata, penyediaan beberapa masukan, serta pembukaan akses ke berbagai peluang yang akan membuat masyarakat makin berdaya dalam emmanfaatkan peluang.
3.      Memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah dan semakin lemah, dan menciptakan kebersamaan serta kemitraan antara yang sudah maju dan yang belum maju atau berkembang. Secara khusus perhatian harus diberikan dengan keberpihakan melalui pembangunan ekonomi rakyat, yaitu ekonomi usaha kecil termasuk koperasi, agar tidak makin tertinggal jauh, melainkan justru memanfaatkan momentum globalisasi bagi pertumbuhannya.
b.      Program gerakan terpadu pengentasan kemiskinan
Kantor Menteri Kesra dan Taskin mengembangkan dan mencanangkan program yang disebut Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gerdu Taskin). Gerdu Taskin meruapakan program pengentasan kemiskinan yang terpadu dan menyeluruh yang dilakukan oleh pemerintah, kalangan swasta, lembaga swadaya dan organisasi kemasyarakatan ( LSOM ), masyarakat luas dan keluarga miskin itu sendiri. Keunggulan program Gerdu Taskin ini adalah keterpaduan tujuan dan sasaran untuk menanggulangi sebab sebab terjadinya kemiskinan, sehingga kondisi kesejahteraan penduduk target program yang lebih baik dapat di capai. Tujuan dan sasaran ini ditindak lanjuti dengan berbagai perangkat dan strategi, seperti kebijaksanaan, peraturan peraturan dan produk hukum lainya , program , proyek , dan kegiatan yang mempunyai dampak langsung terhadap oerubahan positif pada factor factor penyebab kemiskinan tersebut di atas. Salah satu tujuan pembangunan nasional yaitu menumbuhkan dan mengambangkan sikap dan tekad kemandirian manusia dan masyarakat Indonesia.
      Atas dasar hal tersebut, maka prinsip dasar yang diterapkan dalam Gerdu Taskin secara nasional, meliputi:
1.      Memperlakukan keluarga/penduduk miskin sebagai subyek , dengan melibatkan keluarga sasaran mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan penilaian.  
2.      Dukungan yang diberikan diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan, memberdayakan masyarakat dan keluarga miskin, mencegah timbulnya kemiskinan, dan melindungi keluarga miskin sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki keluarga sasaran, serta memberikan peluang yang ada di lingkungannya.
3.      Dukungan yang diberikan secara menyeluruh dalam bentuk kebiasaan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, menumbuhkan wawasan, pengetahuan, sikap, dan perilaku ekonomi yang produktif, serta memberikan kemampuan, dan akses yang lebih besar untuk mengembangkan usaha dan meningkatan kesejahteraannya.
4.      Pengembangan potensi keluarga/penduduk miskin dilakukan melalui pendekatan kelompok dengan disertai pendamping mandiri yang berasal dari instansi pemerintah, kalangan swasta, organisasi kemasyarakatan (LSOM), dan masyarakat.
Adapun tujuan khusus dari pelaksanaan Gerde Taskin yaitu:
1.      Membantu keluarga miskin memperoleh kebutuhan pokok dengan cara yang terjangkau.
2.      Menumbuhkan dan mengembangkan wawasan, pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga sasaran khusunya dalam bidang ekonomi yang mendukung upaya peningkatan secara mandiri.
3.      Mengembangkan kemampuan keluarga ssaran agar mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang cukup untuk mengambangkan usaha sesuai dengan potensi yang dimiliki.
4.      Meningkatkan akses keluarga miskin, untuk mendapatkan modal, teknologi, dan memiliki usaha yang tetap, serta akses untuk memperoleh fasilitas pembangunan dan masyarakat lainya.
5.      Menmbuhkan dinamika sosial untuk mengatasi masalah kemiskinan secara gotong royong oleh masyarakat.
6.      Memperkuat kondisi dan keterpaduan diantara unsure unsure yang terkait, yaitu pemeritah, swasta, LSOM, dan masyarakat dalam uapaya pengentasan kemiskinan.



BAB V
PENUTUP
5.1. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan penulis uraikan dalam karya tulis ini dapat disimpulakn bahwa Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Kemiskinan lazimnya digambarkan sebagai gejala kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Sekelompok anggota masyarakat dikatakan berada di bawah garis kemiskian jika pendapatan kelompok anggota masyarakat ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian, dan tempat tinggal. Garis kemiskinan, yang menentukan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, dapat dipengaruhi oleh tiga hal: (1) persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan, (2) posisi manusia di dalam lingkungan sekitar, dan (3) kebutuhan objektif manusia untuk dapat hidup secara manusiawi.
5.2. SARAN
Berdasarkan uraian yang diatas maka dapat ditarik kesimpulan yaitu
Cara Untuk Menanggulangi Kemiskinan Dalam Masyarakat
Penanggulangan kemiskinan di Indonesia oleh pemerintah telah dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya:
1.      Pemberdayaan masyarakat miskin
Pemberdayaan masyarakat miskin merupakan pemberian hak pada masyarakat untuk dapat meningkatkan daya atau kemampuan sendiri. Jika kemampuan unit sosial secara keseluruhan meningkat, maka semua anggota masyarakat akan dapat menikmati bersama-sama. Dalam kasus ini, pemberian daya kepada lapisan miskin secara tidak langsung juga akan meningkatkan daya si pemberi, yaitu si penguasa (yang dalam hal ini tentunya adalah pemerintah). Upaya pemberdayaan dapat juga melalui tiga jurusan, yaitu:
a.       Menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adlaah upaya untuk membangun daya ini dengan mendorong, memberikan potensi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya.
b.      Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah yang lebih positif  dan nyata, penyediaan beberapa masukan, serta pembukaan akses ke berbagai peluang yang akan membuat masyarakat makin berdaya dalam emmanfaatkan peluang.
c.       Memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah dan semakin lemah, dan menciptakan kebersamaan serta kemitraan antara yang sudah maju dan yang belum maju atau berkembang. Secara khusus perhatian harus diberikan dengan keberpihakan melalui pembangunan ekonomi rakyat, yaitu ekonomi usaha kecil termasuk koperasi, agar tidak makin tertinggal jauh, melainkan justru memanfaatkan momentum globalisasi bagi pertumbuhannya.




[1] Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. (Jakarta: Rajawali Pers, 2011). hlm. 320
[2] Dr. R. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar teori  dan Konsep Ilmu Sosial, Refika Saditama, Bandung, 1986. Hlm. 228.
an
[3] Elly M. Setiadi&Usman Kolip, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori Aplikasi dan Pemecahannya), Kencana, Jakarta, 2011. Hlm. 797.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar