BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Pasar modal merupakan
tonggak penting dalam perekonomian dunia saat ini. Banyak industri dan
perusahaan yang menggunakan institusi ini sabagai media untuk menyerap
investasi dan media untuk memperkuat posisi keuangannya[1]. Pasar
modal memiliki peran yang sangat besar bagi perekonomian suatu negara karena
pasar modal menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi
keuangan[2]. Pasar
modal dikatakan memiliki fungsi ekonomi karena pasar modal menyediakan
fasilitas yang mempertemukan dua kepentingan yaitu pihak yang memiliki
kelebihan dana (investor) dan pihak yang memerlukan dana (issuer).
Dengan adanya pasar
modal maka pihak yang mempunyai kelebihan dana dapat menginvestasikan dana
tersebut dengan harapan memperoleh imbalan (return) sedangkan pihak issuer
(dalam hal ini perusahaan) dapat memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan
investasi tanpa harus menunggu tersedianya dana dari operasi perusahaan. Pasar
modal dikatakan memiliki fungsi keuangan, karena pasar modal memberikan
kemungkinan dan kesempatan memperoleh imbalan (return) bagi pemilik dana,
sesuai dengan karakteristik investasi yang dipilih.
Sekaitan dengan hal
diatas maka, di Indonesia pun pasar modal menjadi salah satu elemen penting dalam
laju perekonomian negara ini. Pasar modal pun tentunya menjadi tempat investasi
yang sangat diminati oleh berbagai kalangan, terutama kalangan menengah keatas.
Hal ini dikarenakan segala efisiensi sistem transaksi dan atau sistem investasi
di pasar modal.
Di negara mana pun,
perkembangan pasar modal tidak lepas dari tindak kejahatan. Oleh karena itu,
sector hukum pasar modal senantiasa diharapkan berkembang pesat mampu
mempersempit peluang tindak kejahatan. Pada dasarnya peraturan
perundang-undangan pasar modal (securities act) mengatur keterbukaan informasi
material, mencegah pemberian informasi yang menyesatkan, serta melarang adanya
kejahatan yang bersifat penipuan atau kecurangan dalam transaksi perdagangan
efek. Namun pada prakteknya, terlalu banyak hal yang dapat merubah kemurnian
mekanisme transaksi pasar modal, yang seharusnya peraturan tu dihasilkan tidak
hanya demi memenuhi standar kesempurnaan saja, melainkan juga harus ada
penegakan hukum yang harus mengandung keadilan dalam rangka menciptakan pasar
modal yang tangguh, modern, efisien, dan teratur.
Dalam perjalanannya,
pasar modal Indonesia mengalami pasang surut. Bahkan, pemerintah Indonesia
sempat membekukan kegiatan pasar modal, karena Perang Dunia I dan II, kebijakan
nasionalisasi pemerintah Indonesia pada tahun 1956. Pasar modal baru dibuka
kembali pada tahun 1977 setelah perancangan orde pembangunan. Seiring dengan
kian gencarnya pemerintah melakukan pembangunan, keberadaan pasar modal kian di
rasakan sebagai suatu kebutuhan. Pertumbuhan yang di perkirakan akan terus
meningkat di anggap sebagai momentum yang tepat untuk mengatifkan kembali pasar
modal. Dengan pengatifkan kembali pasar modal di harapkan mampu menggerakan
potensi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan sekaligus menciptakan
pemerataan pendapatan dan demokratisasi ekonomi.
Perkembangan
perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi
ekonomi syariah. Bank muamalat sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer
bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan system ini ditengah
menjamurnya bank-bank konvensional. Terbukti, krisis 1998 telah menenggelamkan
bank-bank konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena kegagalan system
bunganya. Berbanding terbalik dengan bank muamalat yang justru mampu bertahan
dari badai krisis tersebut dan menunjukan kinerja yang meningkat.
Hal
inilah yang mendorong mulai dilirik system ekonomi syariah sebagai salah satu
alternative bagi system ekonomi Indonesia. Bahkan apabila ekonomi syariah
diterapkan secara maksimal didukung oleh instrumen keuangan dan produk- produk
hukum yang memayungi, akan mampu membawa Indonesia menjadi negara kuat secara
ekonomi yang berbasis kerakyatan. Untuk itu sangat dibutuhkan peran serta
seluruh elemen masyarakat mulai dari pemerintah maupun masyarakat sebagai
pelaku dan user.
Dukungan
pemerintah dalam hal ini ditandai dengan adanya UU No 19 Tahun 2008 Tentang
Surat Berharga Syariah Nasional dan UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah, adanya Deputi Gubernur Bank Indonesia bidang Perbankan
Syariah, dan juga adanya Forum komunikasi Ekonomi Syariah, Masyarakat
ekonomi syariah dan penyelenggaraan berbagai festival ekonomi syariah. yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter di Indonesia.
Tumbuhnya
bank-bank syariah atau unit usaha syariah merupakan upaya yang dilakukan oleh
bank plat merah maupun swasta untuk mendukung perkembangan system ini.
Pertumbuhan asset yang dimiliki oleh perbankan syariah sampai dengan Juli 2008
hingga Maret 2009 tercatat 5 bank umum syariah (BUS), 26 unit usaha syariah
(UUS) , dan 133 bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) dengan Total kantor BUS
dan UUS telah mencapai 888 kantor.
Kemudahan
dan pelayanan menjadi ujung tombak untuk mengajak masyarakat turut serta
mengembangkannya. Seperti Bank Muamalat yang bekerjasama dengan kantor pos
untuk produk shar-e, dan atm dengan bank BCA yang notabene mempunyai
ATM terbanyak dan tersebar diseluruh penjuru Indonesia.
Tentunya,
tak dapat dipungkiri keinginan untuk menumbuh-kembangkan ekonomi syariah harus
sejalan dengan kemampuan sumber daya insani yang saat ini masih relative belum
banyak memiliki kemampuan dalam bidang ekonomi syariah dan sebagian
besar dari mereka yang bekerja pada bank syariah berasal dari bank
konvensional. Penyerapan sumber daya insani berdasarkan data Bank Indonesia per
Maret 2009 terdapat 7000 orang yang bekerja pada Bank umum Syariah, 2.178 orang
pada Unit usaha Syariah dan 2.644 orang di BPRS.
2.
Rumusan
Masalah
Melihat uraian yang
melatarbelakangi permasalahan dalam paper ini, penulis berusaha merumuskan
beberapa permasalahan yang berkaitan dengan permasalahan ini. Rumusan masalah
yang dapat penulis ajukan sebagai berikut:
a.
Apa pengertian
hukum perjanjian syariah itu?
b.
Bagaimanakah
pelaksanaan hukum perjanjian syariah itu dalam perbankan syariah?
3.
Tujuan
Penulisan
Tujuan yang ingin penulis capai
dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk
mengetahui apakah hukum perjanjian syariah itu?
b.
Untuk mengetahui
bagaimana perkembangan pasar modal syariah di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Hukum Perjanjian Syariah
Merupakan suatu perjanjian atau
perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis, sehingga dapat digunakan sebagai
alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan.[3]
Dalam fiqh muamalah, pengertian
kontrak pejanjian masuk dalam bab pembahasan tentang akad. Pengertian akad
(al-‘aqd) secara bahasa dapat diartikan sebagai perikatan atau perjanjian.[4]
Jadi, yang dimaksud dengan Hukum
kontrak syariah adalah hokum yang mengatur perjanjian atau perikatan yang
sengaja dibuat secara tertulis berdasarkan prinsip-prinsip syariah, sebagai
alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan.[5]
2.
Pelaksanaan
Hukum Perjanjian Syariah dalam Perbankan Syari’ah
Bank Syariah di Indonesia didirikan
pada tahun 1992, pemerintah telah membuat sejumlah peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan perbankan syariah. Kini, kegiatan perbankan syariah
diatur dalam UU No.10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam pasal 1 angka 3, disebutkan pengertian bank
umum adalah “bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensionala dan
atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran”. Sedangkan, yang dimaksud dengan prinsip syariah,
disebutkan dalam pasal 1 angka 13, yaitu “aturan perjanjian berdasarkan Hukum
Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah”.
Di Indonesia berlaku dua sistem perbankan, yaitu sistem konvensional yang
menggunakan sistem bunga dan sistem syariah yang berlandaskan pada ketentuan
Islam.[6]
Kegiatan
usaha yang dapat dilakukan oleh bank syariah diatur dalam pasal 36 Peraturan
Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004. Kegiatan-kegiatan itu antara lain sebagai
berikut:[7]
a. Penghimpunan
Dana
Giro berdasarkan prinsip wadi’ah
Giro adalah simpanan dana nasabah
di bank yang dapat diambil sewaktu-waktu dengan menggunakan cek atau alat
sejenis lainnya. Pada dasarnya, wadi’ah merupakan akad titipan yang tidak
memberikan wewenang kepada penerima titipan untuk menggunakan benda yang
dititipkan. Penerima titipan berhak untuk mendapatkan upah untuk itu. Bagi bank
yang menjadi pihak yang menerima titipan dengan seijin nasabahnya sebagai pihak
yang menitipkan, bank dapat menggunakan dana milik nasabah dengan menjamin,
bahwa bank akan mengembalikan dana itu secara utuh. Bank memiliki tanggung
jawab atas segala resiko yang terjadi pada dana tersebut. Dalam kondisi titipan
seperti ini, titipannya disebut dengan wadi’ah yad adh-dhamanah.
Sedangkan untuk titipan yang penerima titipan tidak berhak untuk menggunakan
benda titipan disebut dengan wadi’ah yad al-amanah. Dari proseswadi’ah
yad adh-dhamanah ini, tentunya bank tidak memperoleh upah dari nasabah
atas jasa titipannya, tetapi ia berhak mendapatkan semua keuntungan yang
diperoleh dari hasil penggunaan dana nasabah tersebut. Sedangkan bagi nasabah,
selain ia mendapatkan jaminan keamanan terhadap dananya, biasanya ia memperoleh
intensif dari bank. Pemberian intensif oleh bank tidak diperjanjikan diawal
akad dan jumlahnya tidak ditetapkan terlebih dulu.
Tabungan berdasarkan prinsip
wadi’ah dan atau mudharabah
Tabungan adalah simpanan dana
nasabah di bank yang dapat diambil sewaktu-waktu oleh nasabah dengan
menggunakan buku tabungan atau alat lainnya tetapi tidak menggunakan cek.
Prinsip wadi’ah pada tabungan digunakan sama halnya dengan produk giro yang
telah diuraikan diatas.
Prinsip mudharabah pada tabungan
adalah antara nasabah dan bank mengadakan akad mudharabah, yaitu nasabah
menyimpan sejumlah dana kepada bank untuk dikelola oleh bank. Dalam hal ini,
hasil yang diperoleh dari pengelolaan dananya akan dibagikan kepada nasabah
sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan bank sebagai pengelola dana
(mudharib). Besar bagi hasil (nisbah) tersebut telah disepakati di awal akad.[8]
Deposito berjangka berdasarkan
prinsip mudharabah
Deposito berjangka merupakan
penyimpanan dana oleh nasabah kepada bank dengan ketentuan waktu penarikan dana
adalah dalam jangka waktu tertentu sejak penyetoran dananya, seperti 30 hari,
90 hari, dan sebagainya. Dalam hal ini, perikatan yang digunakan adalah
mudharabah. Nasabah sebagai shahibul maal dan bank sebagai mudharib saling
terikat untuk melakukan bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah ditentukan
di awal akad.[9]
b. Penyaluran
Dana
1) Prinsip
Jual Beli
a. Murabahah
Yaitu jual-beli dengan adanya
tambahan dari harga asal. Nasabah yang memiliki kebutuhan benda tertentu dapat
mengajukan permohonan kepada Bank Syariah untuk membeli benda tersebut. Benda
yang telah dibeli oleh bank, kemudian akan dijual kembali kepada nasabah
dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal. Kelebihan harga ini tentunya
didasarkan pada kesepakatan diantara keduanya. Pembayaran yang dilakukan oleh
nasabah biasanya dalam bentuk angsuran, meskipun tidak dilarang untuk membayar
secara tunai. Sistem ini biasanya dilakukan untuk pembiayaan barang-barang
investasi seperti melalui letter of credit (L/C) dan
pembiayaan persediaan sebagai modal kerja.[10]
b. Istishna
Bank sebagai penjual (shani’)
mendapat pesanan dari nasabah sebagai pembeli (mustashni’) dengan cara
pembayaran dimuka, secara angsuran, atau ditangguhkan pada waktu tertentu. Barang
yang dibutuhkan oleh nasabah tidak seketika itu ada, tetapi harus dilakukan
proses pembuatannya terlebih dahulu. Bank akan melakukan pemesanan kembali
kepada perusahaan industri untuk memperoleh barang yang dibutuhkan oleh
nasabah. Dalam hal jual beli yang kedua ini disebut juga dengan istishna
parallel. Keuntungan yang diperoleh oleh bank adalah berupa selisih harga dari
nasabah dengan harga jual kepada pembeli. Model perikatan istishna bisa
dilakukan pada pembiayaan persediaan (inventory financing) sebagai modal kerja.[11]
c. Salam
Salam hampir sama dengan istishna.
Pembayaran harga pada salam dilakukan pada saat akad dilakukan. Sifat akad dari
salam adalah mengikat secara asli (thabi’i), yaitu mengikat semua pihak sejak
awal. Pada perikatan salam, nasabah berkedudukan sebagai pembeli (muslam),
sedangkan bank sebagai penjual (muslam ilaih). Bank juga dapat melakukan salam
paralel dengan produsen. Pada salam paralel bank adalah muslam dan produsen
adalah muslam alaih.
2) Prinsip
Bagi Hasil
a. Mudharabah
Bank dan nasabah dapat melakukan
kerjasama dalam mengadakan suatu usaha. Dalam mudharabah, bank sebagai pemilik
dana (shahibul maal) menyediakan sejumlah dana untuk suatu usaha yang akan
dikelola oleh nasabah (mudharib). Pada awal akad, keduanya telah menyepakati
nisbah yang akan dibagikan dari hasil keuntungan yang diperoleh dari
usahanya. Jenis mudharabah yang dapat digunakan adalah mudharabah mutlaqah
dan mudharabah muqayyadah. Dalam mudharabah mutlaqah, pihak pemodal tidak
berhak mengelola persekutuan secara mutlak. Namun pihak mudharib lah yang
berhak mengelola, sebab mudharabah merupakan percampuran antara badan pengelola
(pekerja) dengan modal, tetapi bukan pemilik modal. Sehingga pemodal layaknya
pihak yang berada di luar persekutuan.[12]
Mudharabah muqayyadah adalah akad
syirkah yang mengharuskan pekerja (mudharib) untuk mengikuti ketentuaan maupun
pengarahan yang ditetapkan oleh pemilik modal (shahibul maal) dalam mengelola
usaha. Dengan demikian, dalam persekutuan mudharabah ini, kewenangan yang diberikan
kepada pihak mudharib bersifat terbatas.
b. Musyarakah
Syirkah yaitu akad perjanjian
antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan[13] Dalam
kerjasama ini masing-masing pihak (bank dan nasabah) memberikan kontribusi dana
untuk suatu usaha tertentu dengan keuntungan dan resiko yang terjadi akan
ditanggung bersama. Aplikasinya dalam perbankan, musyarakah dapat dipergunakan
untuk pembiayaan proyek dan juga pemiayaan modal ventura.[14]
3) Prinsip
Sewa menyewa
a.
Ijarah
Ijarah adalah pengambilan manfaat
suatu benda, jadi dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali, dengan
perkataan lain dengan terjadinya peristiwa sewa-menyewa, yang berpindah
hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut, dalam hal ini dapat berupa
manfaat barang seperti kendaraan, rumah, dan manfaat karya seperti pemusik,
bahkan dapat juga berupa karya pribadi seperti pekerja.[15]
Dalam praktik, biasanya disebut
denganoperational lease, yaitu bank menyewakan barang yang dibutuhkan
nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan usahanya. Nasabah memiliki kewajiban
membayar harga sewa kepada bank.[16]
b.
Ijarah
Muntahiya bi Tamlik (IMBT)
Sering kali barang yang disewakan
kepada nasabah akan merepotkan bank dalam hal pemeliharaanya. Oleh karena itu,
bank dapat memberikan opsi kepada nasabah untuk menjadi pemilik atas barang
setelah masa sewa telah berakhir. Hal ini yang diaplikasikan dalam bentuk financial
lease with purchase option, baik dalam bentuk pembiayaan produktif berupa
investasi maupun pembiayaan konsumtif.
4) Prinsip
Pinjam-meminjam berdasarkan akad qardh
Utang piutang adalah memberikan
sesuatu kepada seseorang, dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan
itu. Misalnya menghutang uang Rp50.000,- akan dibayar Rp50.000,- pula. Perikatan
jenis ini bertujuan untuk menolong, bukan sebagai perikatan yang mencari untung
(komersil). Oleh karena itu, bank hanya akan mendapatkan kembali sejumlah modal
yang diberikan kepada nasabah. Bank syariah dapat menyediakan fasilitas ini
dalam bentuk sebagai berikut:
a. Sebagai dana talangan untuk
jangka waktu singkat, maka nasabah akan mengembalikannya dengan cepat,
seperti compensating balance danfactoring (anjak
piutang).[17]
b. Sebagai fasilitas untuk
memperoleh dana cepat karena nasabah tidak bisa menarik dananya, misalnya karena
tersimpan dalam deposito.
c. Sebagai fasilitas membantu usaha
kecil atau sosial.
5) Jasa
Pelayanan
a. Wakalah
Berwakil ialah menyerahkan
pekerjaan yang dikerjakan kepada yang lain, agar dikerjakannya (wakil) semasa
hidupnya (yang berwakil).[18]Perwakilan
merupakan bentuk pemberian kuasa kepada pihak lain untuk melakukan suatu
pekerjaan tertentu. Dalam pasal 1792 KUH Perdata, yang dimaksud pemberian kuasa
adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada
seseorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu
urusan.[19]
Bank syariah disini sebagai wakil
dari nasabah sebagai pemberi kuasa (muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil).
Dalam hal ini bank akan mendapatkan upah atau biaya administrasi atas jasanya
tersebut. Sebagai contoh, bank dapat menjadi wakil untuk melakukan pembayaran
tagihan listrik atau telepon kepada perusahaan listrik atau telepon. Contoh
lainnya adalah bank mewakili sekolah atau universitas sebagai penerima biaya
pembayaran SPP dari para pelajar atau mahasiswa untuk biaya studi.[20]
b.
Hawalah
Hiwalah ialah memindahkan hutang dari tanggungan
seseorang kepada tanggungan yang lain.[21]Hiwalah
disyari’atkan untuk memberikan kemudahan bagi hamba-hambaNya dalam kehidupan
muamalah. Melalui akad hiwalah, memungkinkan seseorang yang mengalami kesulitan
untuk mengalihkan sesuatu yang masih menjadi tanggungannya (hutang) kepada
pihak lain.
Dalam praktiknya, perikatan ini
biasanya dilakukan pada produk perbankan berikut ini:[22]
a) Factoring atau
anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga
memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan
bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
b) Post
dated check, di mana bank bertindak sebagai juru
tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
c) Bill
discounting. Secara prinsip, bill
discountingserupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill
discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan
pembahasan fee tidak didapati dalam kontrak hawalah.
c. Kafalah
Menurut Pasal 612 HUH Perdata Islam
hak jaminan (kafalah) adalah suatu bentuk penambahan kewajiban kepada suatu
tanggungan yang berkaitan dengan adanya permintaan atas barang tertentu;
artinya seseorang menggabungkan dan mengikatkan dirinya kepada orang lain,
dengan sesuatu yang berkaitan dengan adanya penambahan kewajiban bagi orang
lain tersebut.[23]
Pada perikatan ini, bank
berkedudukan sebagai pemberi jaminan (kafiil) atas nasabahnya (makful),
kemudian nasabah akan mendapatkan upah atas jasanya tersebut selain harus
mengembalikan dana yang telah dikeluarkan oleh bank kepada penerima jaminan.
Contohnya, kafalah dapat dilaksanakan pada performance
bonds atau jaminan prestasi.[24]
d. Rahn
Perjanjian gadai adalah merupakan
perjanjian dua pihak, yaitu orang yang berhutang (debitur), pemberi gadai,
yaitu orang yang menyerahkan benda yang dijadikan objek perjanjian gadai serta
orang yang berpiutang atau pemegang gadai (kreditur).[25]
Rahn merupakan perikatan pemberian
jaminan yang diberikan oleh nasabah atas pinjamannya dari bank. Dalam bank
syari’ah, rahn dapat digunakan sebagai produk pelengkap dan produk tersendiri.
Produk pelengkap itu yaitu pada saat nasabah melakukan perikatan dalam bentuk
lain (seperti mudharabah, murabahah, dan lainnya), maka bank dapat meminta
nasabah untuk menyerahkan jaminan. Sebagai produk tersendiri, yaitu sering kali
dikenal dengan istilah gadai. Nasabah yang membutuhkan biaya dapat menggadaikan
barang miliknya. Barang ini kemudian dapat dinilai harganya, sehingga bank
dapat memberikan pinjaman kepada nasabah sesuai dengan nilai barang gadai
tersebut. Dalam hal ini, bank akan memperoleh keuntungan berupa biaya penitipan
dan pemeliharaan atas barang gadai tersebut. Apabila pinjaman telah lunas, maka
barang gadai akan dikembalikan kepada nasabah yang bersangkutan.[26]
BAB
III
PENUTUP
a. Simpulan
Bank Syariah di Indonesia didirikan
pada tahun 1992, pemerintah telah membuat sejumlah peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan perbankan syariah. Kini, kegiatan perbankan syariah
diatur dalam UU No.10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
tahun 1992 tentang Perbankan. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank
syariah diatur dalam pasal 36 Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004.
Kegiatan-kegiatan usaha yang dapat
dilakukan oleh bank syari’ah itu antara lain sebagai berikut: Deposito
berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, transaksi giro berdasarkan prinsip
wadi’ah, deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, murabahah,
istishna, salam, mudharabah, musyarakah (syirkah), ijarah, Ijarah Muntahiya bi
Tamlik (IMBT), qardh, wakalah, hawalah, kafalah, dan rahn (gadai). Dimana
kegiatan-kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank syariah itu memiliki
pelaksanaan yang berbeda.
Hukum kontrak syariah adalah hokum
yang mengatur perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis
berdasarkan prinsip-prinsip syariah, sebagai alat bukti bagi para pihak yang
berkepentingan.
[1] Irfan Syauqi Beik, Prinsip Pasar Modal Syariah, dalam
//www.pesantrenvirtual.com/ekonomi/001.shtml.
[2] Tjiptono Darmadji dan Hendy M Fakhruddin, pasar modal di Indonesia
pendekatan Tanya jawab (Jakarta
: Selemba
Empat, 2001) Ed. 1 hal 2
[3]
Burhanuddin
S, 2009, Hukum Kontrak Syariah, Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta, hlm 11
[4]
Ibid, hlm
12
[5]
Ibid, hlm
12
[6]
Gemala Dewi, 2006, Hukum
Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 154
[7]
Ibid, hlm 155
[8]
Gemala
Dewi, 2006, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, hlm 156
[9] Ibid, hlm 156
[10] Ibid, hlm
156-157
[11]
Gemala Dewi, 2006, Hukum
Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 157
[12]
Burhanuddin
S, 2009, Hukum
Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 116
[13]
Chairuman Pasaribu
Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, hlm 74
[14]
Gemala
Dewi, 2006, Hukum
Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, hlm 158
[15]
Chairuman
Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum
Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 52
[16]
Gemala Dewi, 2006, Hukum
Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm
158-159
[17]
Muhammad
Syafi’I Antonio, 2002, Bank
Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani
Press, hlm 162 dan 163
[18]
Sulaiman
Rasjid, 2001, Fiqh
Islam, Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, hlm 320
[19]
Burhanuddin S, 2009, Hukum
Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 147
[20]
Gemala Dewi, 2006, Hukum
Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm
159-160
[21]
Sulaiman
Rasjid, 2001, Fiqh
Islam, Bandung: PT Sinar Baru Algensindo, hlm 312
[22]
Gemala
Dewi, 2006, Hukum
Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, hlm 160
[23]
Burhanuddin S, 2009, Hukum
Kontrak Syariah, Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, hlm 153
[24]
Gemala
Dewi, 2006, Hukum
Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, hlm 160
[25]
Chairuman
Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, 2004, Hukum
Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 139
[26]
Gemala Dewi, 2006, Hukum
Perikatan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm
160-161
Tidak ada komentar:
Posting Komentar